Kota Berketahanan Iklim
yang Inklusif

Select your language

Climate Resilient and Inclusive Cities (CRIC) memperkuat suara pemerintah kota sebagai pejuang iklim, dengan memaparkan ambisi dan aksi dari Kota Pekanbaru dan Kota Mataram dalam sesi “Pemerintah Kota Sebagai Pejuang iklim” dalam Pekan Diplomasi Iklim Uni Eropa-Indonesia, Kamis (14/10).

CRIC berkolaborasi dengan GCOM SEA dan IURC -program dengan dukungan pembiayaan Uni Eropa lainnya yang dikelola oleh UCLG ASPAC- dalam mengelola acara yang dihadiri oleh setidaknya 130 peserta ini. Kegiatan virtual ini adalah bagian dari serangkaian Pekan Diplomasi Uni Eropa-Indonesia 2021 yang mengangkat tema “Ambisi dan Aksi”.

M. Henriette Faergemann, Konselor 1 Bidang Lingkungan, Aksi Iklim dan TIK dari Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, membuka acara dengan sebuah catatan yang memantik semangat. “Pemerintah Daerah adalah pejuang iklim yang memimpin aksi iklim di kota, dan dengan demikian berkontribusi pada Persetujuan Paris, ujarnya pada Kamis (14/10).

Pernyataan ini benar adanya sebagaimana menurut Ibu Henriette Faergemann –mengacu pada laporan UN Habitat- bahwa kota mengkonsumsi lebih dari 70% energi dunia dan menghasilkan lebih dari 60% emisi gas rumah kaca sementara hanya mengokupasi 2% lahan. Melalui Proyek CRIC, lanjutnya, Uni Eropa mendukung aksi iklim untuk membangun masa depan berketahanan iklim yang inklusif melalui “penyebaran praktik baik dan pengetahuan serta membangun kemitraan jangka panjang.”

Terkait dengan hal ini, kota-kota percontohan CRIC turut berkontribusi pada komitmen global Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), selaras dengan Nationally Determined Contributions, melalui aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

 

Ambisi dan aksi

Mewakili Kota Pekanbaru, Wakil Walikota Ayat Cahyadi memaparkan strategi dan aksi kota untuk mengatasi perubahan iklim melalui inisiatif pengelolaan sampah. Wakil Walikota mendorong keterlibatan dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan sampah dengan menggarisbawahi tagline “Sampahku tanggung jawabku, sampahmu tanggung jawabmu.”

Pekanbaru telah meluncurkan beberapa inisiatif pengelolaan sampah, salah satunya adalah Bank Sampah yang bertujuan mengedukasi masyarakat dalam praktik pengelolaan sampah berkelanjutan mulai dari tingkat rumah tangga.

Kota percontohan CRIC lainnya, Mataram, juga menghadapi masalah sampah serupa di mana kota ini menghasilkan hampir 70% sampah organik setiap hari. Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) berjarak 18 kilometer dari pusat kota dan akan penuh dalam 2-3 tahun.

Berbicara mewakili Kota Mataram, Asisten 1 Setda Lalu Martawang, mengatakan bahwa biaya pengangkutan sampah akan membebani APBD. “Bayangkan jika kita harus mengalokasikan 40 miliar untuk pengelolaan sampah dan 32 miliar untuk penerangan jalan umum. Jika kita dapat mengkonversi sampah menjadi energi terbarukan, kita dapat mengatasi masalah sampah sekaligus energi,” ujarnya.

Selain dua kota percontohan CRIC, empat kota lain yakni Semarang, Bandung, Palembang dan Malang juga memaparkan aksi skala kota untuk mewujudukan masa depan yang berkelanjutan. Semarang memaparkan inisiatif kota untuk membangun BRT (Bus Rapid Transit); Bandung berbagi inisiatif sistem pangan perkotaan yang berkelanjutan; Palembang mendorong efisiensi energi; dan Malang menampilkan beragam aksi adaptasi yang salah satunya adalah pengelolaan sampah.

 

Ragam dukungan: kebijakan, perangkat, kapasitas, jaringan

Aksi di tiap kota mendemonstrasikan kepemimpinan lokal dan komitmen untuk mewujudkan aksi iklim. Ibu Ratnasari Wargahadibrata dari Direktorat Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam paparannya mengatakan bahwa pemerintah pusat mendukung aksi iklim di tingkat kota melalui KLHK dengan penyediaan perangkat, peningkatan kapasitas dan panduan kebijakan.

“KLHK telah memiliki SIGN SMART untuk membantu kota mengkalkulasi dan melaporkan emisi GRK-nya; kita juga memiliki SRN (Sistem Registri Nasional) untuk mengelola data dan informasi tentang aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang telah dilakukan. Kami mengembangkan perangkat ini untuk mengidentifikasi kebutuhan tiap pemangku kepentingan apakah terkait kapasitas, dukungan teknis atau teknologi,” ujarnya.

Kegiatan ini juga menghadirkan Ibu Rima Yuliantari dari Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri yang menekankan pentingnya kemitraan multipihak yang melibatkan pemerintah daerah, pihak swasta, organisasi masyarakat sipil dan masyarakat. “Pemerintah daerah tidak dapat hanya bergantung pada APBD untuk mewujudkan aksi-aksi yang membutuhkan pembiayaan. Karena itu, kuncinya terletak pada inovasi dan menjajaki alternatif pembiayaan,” ujarnya.

Sekretaris Jendral UCLG ASPAC Dr. Bernadia Irawati Tjandradewi dalam penutupannya kembali menggemakan pentingnya kolaborasi lintas sektor dan inovasi. “Sangatlah penting untuk memastikan ada kondisi pemungkin (enabling environment) – baik melalui kebijakan, peraturan, dan mekanisme pelaporan yang terintegrasi- untuk mendukung pemerintah daerah dalam mengintegrasikan isu ketahanan iklim dalam dokumen perencanaan seperti RPJMD. Kita perlu berkolaborasi, berinovasi dan bekerja bersama untuk mengatasi krisis iklim,” ujarnya.

CRIC akan terus mendukung sepuluh kota percontohannya dalam mewujudkan aksi iklim melalui seri pelatihan penyusunan Rencana Aksi Iklim dari 2021 hingga 2022. Pelajari lebih lanjut tentang pelatihan Rencana Aksi Iklim di sini: https://youtu.be/n8eawoa2FMw

CRIC
Kerjasama unik antara kota, pejabat, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi menuju kota yang tangguh dan inklusif.

Didanai oleh UE

CRIC
Proyek ini didanai oleh Uni Eropa

Kontak

Hizbullah Arief
hizbullah.arief@uclg-aspac.org

Pascaline Gaborit 
pascaline@pilot4dev.com