Kota Berketahanan Iklim
yang Inklusif

Select your language

Proyek Climate Resilient and Inclusive Cities (CRIC) berpartisipasi dalam Festival Hak Asasi Manusia 2021 dengan berbagi wawasan dan aksi dalam sesi “Komitmen Kolektif untuk Keadilan Sosial dan Lingkungan yang berlangsung Kamis (18/11). Webinar ini menyerukan urgensi untuk menyematkan pendekatan Hak Asasi Manusia dalam proses penentuan kebijakan dan aksi iklim.

Peningkatan temperatur global hingga 1,1° Celsius di atas masa pra-industri menempatkan bumi dan umat manusia dalam keadaan bahaya. Dampak perubahan iklim akan dialami secara berbeda oleh wilayah dan kelompok masyarakat, sesuai dengan risiko dan kerentanan iklim masing-masing. Bagi negara-negara kepulauan, perubahan iklim ibarat ‘hukuman mati’, mengutip pidato Perdana Menteri Barbados Mia Mottley dalam Konferensi Iklim COP26. Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (2021) juga telah mengingatkan bahwa wilayah pesisir akan mengalami kejadian banjir yang lebih sering dan dan parah akibat kenaikan permukaan air laut.

Sekretaris Jenderal UCLG ASPAC Dr. Bernadia Irawati Tjandradewi sebagai pemantik diskusi mengatakan bahwa perempuan, anak-anak, penduduk miskin, penyandang disabilitas dan orang tua adalah lima kelompok yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Ia mendorong para pemimpin lokal untuk melibatkan kelompok ini dalam aksi iklim di daerah. “Perjuangan kita untuk mencapai keadilan sosial dan lingkungan masih jauh dari selesai. Namun, pemimpin daerah dan perwakilan pemerintah berperan penting untuk memastikan peran serta kelompok rentan dalam aksi iklim,” ujarnya kepada 80 peserta webinar.

Pemimpin daerah perlu menanggapi serius seruan ini mengingat kelompok rentan kerap terabaikan dalam proses pengambilan kebijakan iklim. Untuk itulah, Peneliti Senior dari Raoul Wallenberg Institute Dr. Claudia Ituarte-Lima mengatakan bahwa pendekatan berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) penting dalam mengatasi krisis iklim. Persetujuan Paris secara ekspilit menyatakan bahwa semua pihak berkewajiban memenuhi HAM dalam mengatasi perubahan iklim. Dewan HAM PBB juga telah mengakui hak atas lingkungan yang sehat sebagai hak asasi manusia. “Ketika kita berbicara tentang perubahan iklim, kita juga harus memastikan terpenuhinya keadilan sosial, aspirasi politik serta hak-hak misalnya atas air dan energi dalam batas-batas planet (planetary boundaries), dengan tidak meninggalkan siapapun,” ujarnya.

 

Hak asasi manusia atas lingkungan yang sehat

Proyek CRIC bekerja sama dengan sepuluh kota di Indonesia untuk menyusun kebijakan dan aksi yang berketahanan iklim dan inklusif. Manajer Proyek CRIC Aniessa Delima Sari mengatakan dalam sesi pembukaan bahwa salah satu tujuan CRIC adalah mewujudkan kerekatan sosial dan kota yang inklusif. Dua dari sepuluh kota percontohan CRIC, Banjarmasin dan Samarinda, hadir dalam webinar ini untuk berbagi inisiatif mereka dalam mendorong keterlibatan berbagai pihak.

Walikota Banjarmasin H. Ibnu Sina, S.Pi., M.Si., mengambil langkah nyata dalam memastikan aksi iklim yang inklusif. Kota Banjarmasin akan kian rentan terhadap banjir dan kebakaran di tengah perubahan iklim di mana penyandang disabilitas adalah kelompok yang paling terdampak. “Saat ini telah ada beberapa inisiatif yang ada untuk mendorong aksi perubahan iklim yang mempertimbangkan kebutuhan para penyadang disabilitas. Terkait kebijakan, Kota Banjarmasin memiliki peraturan daerah yang memastikan perlindungan terhadap penyandang disabilitas. Kami juga memiliki layanan kesehatan rumah bagi mereka. Selain itu, ada juga program pendidikan inklusif yang juga mempromosikan kesiapsiagaan terhadap bencana, dan saat ini sudah dibangun fasilits publik dan infrastruktur yang mudah diakses penyandang disabilitas,” jelas Walikota Banjarmasin.

Kota Banjarmasin juga telah menetapkan 20 area Program Kampung Iklim (Proklim) untuk mendorong aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim berbasis masyarakat. Walikota Banjarmasin menambahkan bahwa pihaknya akan secara bertahap mengintegrasikan program inklusi disabilitas ke dalam Proklim.

Kota percontohan CRIC lainnya, Samarinda, juga melibatkan masyarakat setempat dalam aksi iklim, melalui praktik pengelolaan sampah berkelanjutan. Kota Samarinda masih berjibaku dengan problem persampahan yang berkontribusi pada emisi gas rumah kaca sekaligus penurunan kualitas lingkungan perkotaan. “Kami bekerja sama dengan masyarakat untuk mencari solusi dan inisitiaf lokal terhadap masalah sampah. Melalui inisiatif yang ada, kami membantu masyarakat untuk mendapatkan pemasukan tambahan dari kegiatan pemanfaatan kembali dan daur ulang sampah,” ujar Asisten II Sekretaris Daerah Pemerintah Kota Samarinda drg. Nina Endang Rahayu, M.Kes.

 

Masyarakat sebagai aktor penting aksi iklim 

Seluruh pembicara menyetujui bahwa upaya untuk menerapkan pendekatan berbasis HAM dalam aksi iklim membutuhkan partisipasi masyarakat. Sara Silva dari ECOLISE berbagi tentang transformation toolkit, sebuah pendekatan yang dikembangkan lembaganya untuk mendorong aksi iklim yang ‘inklusif dan partisipatif’ dengan keterlibatan nyata dari masyarakat. Toolkit ini terdiri dari tiga prinsip utama yang menggabungkan pengetahuan kolektif (kepala), kepedulian (hati) dan kepraktisan (tangan).

Rekomendasi bernas lainnya disampaikan oleh Dosen Senior di Universitas Diponegoro Rukuh Setiadi, PhD. Ia menjelaskan tentang tiga langkah untuk mengembangkan dan menerapkan strategi ketahanan yang efektif. Ketiga langkah ini yakni mengidentifikasikan isu ketahanan yang menjadi masalah bersama, mengembangkan strategi ketahanan dan/atau mengintegrasikannya ke dalam kebijakan yang ada, serta mendorong penerapan strategi secara inklusif. Ia menekankan pentingnya untuk mengembangkan proyek ketahanan di tingkat komunitas untuk mendapatkan dampak yang nyata. “Inisiatif ketahanan yang ada harus melibatkan masyarakat setempat dan pengetahuan lokal. Jangan sampai masyarakat ditinggalkan,” ungkapnya.

Festival Hak Asasi Manusia 2021 adalah kegiatan kolaboratif antara Pemerintah Kota Semarang, INFID, Kantor Staf Presiden RI dan Komnas HAM. Sesi tentang keadilan iklim dikelola melalui kerja sama dengan UCLG ASPAC melalui Proyek CRIC.

___

Tayangan webinar ini masih dapat disaksikan di: https://youtu.be/BD_jNAMlHXc

Berbagai materi presentasi dapat diunduh di: https://festivalham.com/documents/

CRIC
Kerjasama unik antara kota, pejabat, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi menuju kota yang tangguh dan inklusif.

Didanai oleh UE

CRIC
Proyek ini didanai oleh Uni Eropa

Kontak

Hizbullah Arief
hizbullah.arief@uclg-aspac.org

Pascaline Gaborit 
pascaline@pilot4dev.com