Kota Berketahanan Iklim
yang Inklusif

Select your language

Dunia menyaksikan dampak yang mematikan dari cuaca ekstrem terhadap kehidupan kita pada tahun 2021. Laporan Iklim Global mendokumentasikan peningkatan kejadian bencana iklim dari belahan bumi Utara hingga Selatan.[1] Sementara di Indonesia, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah membunyikan alarm tanda bahaya akan kejadian cuaca ekstrem hingga pertengahan Desember 2021. Membenahi sistem peringatan dini menjadi salah satu strategi kunci Climate Resilient and Inclusive Cities (CRIC) di tiga kota percontohan, Pangkalpinang, Bandar Lampung dan Ternate, untuk menyiapkan kota dan warga mengantisipasi bencana yang mengintai.

Menurut Badan Meteorologi Dunia, setidaknya 557.000 penduduk mengungsi di Indonesia di semester pertama tahun 2021 akibat banjir. Kejadian banjir –selain disebabkan faktor iklim- diperburuk oleh penurunan daya dukung lingkungan dalam menyerap limpasan air akibat deforestasi, urbanisasi dan degradasi lahan. Indonesia juga menyaksikan hantaman Siklon Seroja di Nusa Tenggara Timur dan Flores yang memakan 230 korban jiwa.[2]

Bagaimana dengan kota-kota CRIC? Di Kota Pangkalpinang, kejadian banjir diprediksi akan meningkat dengan kenaikan muka air laut. Banjir besar terjadi kota ini tahun 2016 akibat curah hujan tinggi dan siklus hidrologi 30 tahun-an. Sementara di Bandar Lampung, BPBD menyebutkan bahwa 8 kecamatan dan 9 kelurahan di kota sebagai area rentan banjir. Adapun di Kota Ternate, ancaman cuaca ekstrem berupa gelombang tinggi dan air pasang telah merusak infrastruktur, permukiman penduduk dan lokasi pariwisata.[3] Penguatan sistem peringatan dini penting menyelamatkan lebih banyak nyawa, mengurangi kerugian dan meningkatkan ketahanan kota.

 

Komponen iklim dalam peta risiko bencana

Professor Youssef Diab, pakar sistem peringatan dini dari Université Gustave Eiffel mengatakan dalam webinar “Sistem Peringatan Dini dan Pengelolaan Banjir di Pangkalpinang”, 1 Oktober 2021, bahwa pengembangan EWS perlu mempertimbangkan lima unsur penting. “Kita perlu melihat kebutuhan komunitas yang ditargetkan, spesifitas daerah yang akan menentukan jenis EWS yang akan dikembangkan, tingkat risiko dan budaya setempat dalam menghadapi risiko,” ujarnya.

Selain itu, sistem peringatan dini yang dikembangkan juga didukung dengan penguatan sub-sistem lainnya. Misalnya dalam EWS banjir dan tanah longsor, terdapat tujuh sub-sistem, yakni penilaian risiko, diseminasi dan komunikasi, pembentukan tim siaga bencana, pembantuan panduan operasional evakuasi, penyusunan prosedur tetap, teknologi pemantauan; peringatan dini; geladi evakuasi, serta komitmen dan otoritas lokal.[4]

Berkaca dari kota-kota CRIC, perangkat EWS dapat dikembangkan secara terintegrasi dari hulu hingga ke hilir. Di hulu, diperlukan penguatan data, informasi dan Sistem Informasi Geografis berbasis web. Di tengah, CRIC dapat mendorong penguatan komunikasi dan diseminasi informasi, sementara di hilir, diperlukan penguatan masyarakat dalam menghadapi bencana salah satunya melalui program yang telah berjalan seperti Desa Tangguh Bencana. Yang juga penting dalam mengantisipasi bencana perubahan iklim adalah, “peta risiko bencana yang memuat komponen iklim, di mana peta yang ada diperkaya dengan informasi cuaca ekstrem hingga 50 sampai 100 tahun ke depan.”[5]

 

Tata ruang dan pelibatan masyarakat

Pengembangan EWS menjadi penting, namun bersamaan dengan itu diperlukan juga aksi-aksi lainnya. “Di Pangkalpinang, kita harus memastikan pembangunan perkotaan juga selaras dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah disusun. Selain itu, untuk menjaga tutupan hutan di hulu sungai, perlu digalakkan aksi untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan ekonomi yang lebih berkelanjutan dan menghasilkan untuk mengurangi aktivitas pertambangan,” ujar Maman Sudirman dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Lingkungan Hidup (BPDASLH) Baturusa Cecuruk.

Sementara itu, Pascaline Gaborit dari Pilot4Dev menyebutkan beberapa solusi lain yang dapat dikembangkan beriringan dengan pengembangan EWS, yakni infrastruktur dan rancang bangun yang adaptif banjir serta solusi berbasis alam. Di Kota Ternate, misalnya, mangrove berpotensi menjadi benteng alami yang melindungi masyarakat pesisir dari gempuran abrasi. Ekosistem mangrove juga menyediakan sumber mata pencaharian alternatif bagi masyarakat di sektor perikanan.

Pengembangan sistem peringatan dini di Pangkalpinang, Ternate dan Bandar Lampung akan dilakukan CRIC bekerja sama dengan Université Gustave Eiffel dan Pilot4Dev dari tahun 2021 hingga 2022 untuk kemudian diuji coba dan diadopsi pada tahun 2023-2024.

 

[1] State of Climate in 2021: Extreme Events and Major Impacts, World Meteorological Organization, 2021, https://library.wmo.int/doc_num.php?explnum_id=10859

[2] State of Climate in 2021: Extreme Events and Major Impacts, World Meteorological Organization, 2021, https://library.wmo.int/doc_num.php?explnum_id=10859, p.34

[3] Disarikan dari Laporan Kajian Perkotaan Pangkalpinang, Bandar Lampung dan Ternate, Climate Resilient and Inclusive Cities, 2020.

[4] Disarikan dari Laporan FGD CRIC: Sektor Tematik dan Pengembangan Perangkat, Climate Resilient and Inclusive Cities, 2021.

[5] Putra Dwitama dalam Webinar CRIC “Sistem Peringatan Dini dan Pengelolaan Banjir di Pangkalpinang”, 1 Oktober 2021

CRIC
Kerjasama unik antara kota, pejabat, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi menuju kota yang tangguh dan inklusif.

Didanai oleh UE

CRIC
Proyek ini didanai oleh Uni Eropa

Kontak

Hizbullah Arief
hizbullah.arief@uclg-aspac.org

Pascaline Gaborit 
pascaline@pilot4dev.com