Kota Berketahanan Iklim
yang Inklusif

Select your language

Direktur Pilot4Dev Dr. Pascaline Gaborit memaparkan tentang upaya Proyek Climate Resilient and Inclusive Cities (CRIC) dalam membangun ketahanan kota, dalam webinar yang diselenggarakan oleh University of Liège, Belgia, 9 Desember 2021. Webinar ini menekankan bahwa upaya membangun ketahanan kota adalah proses yang terus-menerus, membutuhkan keterlibatan multipihak dan sangat bergantung pada komitmen dan kemauan politik.

Webinar “Urban Resilience” (Ketahanan Kota) diselenggarakan oleh University of Liège yang ditujukan untuk mahasiswa teknik di universitas tersebut sebagai bagian dari mata kuliah pasca-sarjana yang diinisiasi oleh Professor Youssef Diab, pakar sistem peringatan dini yang juga menjadi mitra proyek CRIC. Webinar ini bertujuan memberikan wawasan kepada peserta tentang tiga pendekatan spesifik dan berbeda terkait ketahanan kota, yaitu pendekatan ilmiah dan teknis, perspektif historis dan politis dari negara-negara Eropa serta konteks kerja sama internasional di Asia Tenggara.

Dalam paparannya, Dr. Pascaline Gaborit menjelaskan bahwa CRIC, proyek berjangka lima tahun yang didanai oleh Uni Eropa ini bertujuan untuk menjawab tantangan adaptasi perubahan iklim di Asia Tenggara yang rentan terhadap bencana alam dan memiliki tantangan Infrastruktur. Ia menggarisbawahi betapa mendasarnya pemahaman akan keterkaitan antara kompleksitas risiko, paparan terhadap bahaya dan solusi.

Berkaca dari hal ini, Proyek CRIC secara seksama mengidentifikasi prioritas di kota-kota percontohan untuk menentukan perangkat yang tepat untuk digunakan. Contohnya saja dari lima kota percontohan di Indonesia (Banjarmasin, Samarinda, Mataram, Ternate dan Pangkalpinang), ditemukan bahwa prioritas pembangunan dan risiko bergantung pada berbagai parameter fisik, politik, sosial-ekonomi serta betapa berbeda pula solusi yang ditawarkan untuk tiap kota.

“Strategi kunci yang diperlukan untuk menerapkan ketahanan kota yang efisien di antaranya, kerja sama multipihak, integrasi analisis multirisiko, bekerja dengan masyarakat setempat untuk menjawab kebutuhan mereka secara tepat, kebutuhan akan desain yang adaptif, pemanfaatan smart technology untuk Sistem Peringatan Dini, serta pembiayaan dan akuntabilitas, “ jelas Dr. Pascaline.

 

Building back better

Webinar ini juga menghadirkan Rita Der Sakissian, Ph.D, peneliti dengan spesialisasi di bidang demo-sensing, GIS dan tata kota yang memaparkan konsep “Building Back Better” (Membangun Lebih Baik).

Konsep ini berkaitan dengan pemulihan pasca-bencana yang bertujuan untuk menghindari dampak dari kerentanan yang sebelumnya serta meningkatkan ketahanan masa depan. Rita Der Sakissian mempertanyakan ketidakjelasan kata dan definisi “better” (lebih baik) yang dapat mencakup hal-hal berikut:

  • Memulihkan fungsi infrastruktur dan membuatnya lebih berketahanan menghadapi goncangan di masa depan
  • Building Back Greener (Membangun Lebih Berkelanjutan/Hijau), goncangan dapat menjadi kesempatan untuk mencapai keberlanjutan lingkungan dan mengatasi perubahan iklim
  • Menerapkan rekonstruksi yang berorientasi pada manusia dengan pelayanan yang lebih baik, optimal dan modern

Konsep Building Back Better sangatlah bergantung pada konteks yang melingkupinya, seperti intensitas bencana dan kerusakan, kondisi infrastruktur sebelum bencana, modal sosial, kekayaan, pembangunan, struktur kelembagaan (jaringan pemangku kepentingan, ahli, LSM dan masyarakat), serta sumber daya yang tersedia dan dimensi temporal.

 

Kota dan komitmen politik: Barcelona

Sementara itu, pemapar lainnya Ignasi Fontanals Direktur Rezilio Technologie untuk kawasan Eropa memberi contoh kasus tentang Sejarah Barcelona (Spanyol) dari perspektif politik. Barcelona bertransformasi dari kota yang mengalami berbagai tantangan perencanaan perkotaan menjadi model kota berketahanan di Eropa. Dalam penjelasannya, Ignasi menjabarkan 30 tahun pengelolaan kota di bawah kepemimpinan walikota yang berbeda.

Barcelona adalah kota yang padat yang diapit dua sungai dan bersebelahan dengan pegunungan, sehingga mampu mengakomodasi berbagai aktivitas industri maupun turisme. Kota ini diuntungkan dengan adanya Olimpiade di Barcelona yang menjadi kesempatan untuk membangun kembali kota, terutama setelah diterjang badai yang menghancurkan La Rambla di tahun 1990-an.

Antara tahun 1982-1997 Pascual Maragall berinvestasi pada pembangunan infrastruktur kunci yang dilakukan melalui pengelolaan banjir serta koordinasi jaringan teknis untuk memudahkan diseminasi peta kota antarpihak swasta yang berkontribusi pada ruang publik. Joan Clos (1997-2006) kemudian membangun pengelolaan air limbah, Jordi Hereu (2006-2011) menciptakan Pasokan Layanan Keamanan yakni layanan kelistrikan publik terutama di saat mati lampu. Jordi Hereu juga menerapkan pendekatan holistik untuk menghubungkan berbagai pemangku kepentingan seperti administrator kota dengan pihak swasta. Lalu antara 2011 dan 2015, Xavier Trias membangun sebuah platform untuk menangani pengelolaan kota dan standar ketahanan kota, dengan mengacu pada karya-karya pendahulunya. Ada Colau (2015-sekarang) memilih ketahanan sosial dengan menekankan pada pelayanan sosial.

Melalui paparan ini, Ignasi mengatakan bahwa “ketahanan adalah proses terus-menerus yang bergantung pada gangguan tapi juga kemauan politik yang kuat.”

Dialog daring ini telah memantik beragam tanggapan, terutama tentang peran kemauan politik dalam menerapkan ketahanan kota atau mendukung proses-proses pembiayaan, terutama dalam kerja sama internasional.

CRIC
Kerjasama unik antara kota, pejabat, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi menuju kota yang tangguh dan inklusif.

Didanai oleh UE

CRIC
Proyek ini didanai oleh Uni Eropa

Kontak

Hizbullah Arief
hizbullah.arief@uclg-aspac.org

Pascaline Gaborit 
pascaline@pilot4dev.com