Kota Berketahanan Iklim
yang Inklusif

Select your language

Serial pelatihan Penyusunan Rencana Aksi Iklim (RAI) yang diselenggarakan oleh United Cities and Local Governments Asia-Pacific melalui Proyek Climate Resilient and Inclusive Cities (CRIC) resmi dimulai di Kota Gorontalo, Senin (9/8). Bergulirnya serangkaian pelatihan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim ini sekaligus mendemonstrasikan komitmen sepuluh kota untuk merespon darurat iklim.

Manajer Proyek CRIC Aniessa Delima Sari yang membuka pelatihan mitigasi Inventarisasi Emisi GRK secara virtual mengatakan bahwa pelatihan ini adalah titik mula yang penting bagi kota percontohan CRIC, dan juga bagi upaya Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim. “Sejak Agustus 2021 hingga Juni 2022, Tim Kelompok Kerja CRIC akan berproses bersama untuk menjadi katalis perubahan di kotanya masing-masing,” ujarnya.

 

main_article_newsletter_rev.png

Pelatihan Penyusunan RAI adalah serangkaian pelatihan kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang ditujukan untuk anggota Tim Kelompok Kerja CRIC di sepuluh kota. Kegiatan ini diselenggarakan dengan dukungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI serta CCROM-Institut Pertanian Bogor dan akan diselenggarakan dalam dua fase sepanjang tahun 2021 hingga 2022. Pelatihan mitigasi terdiri dari tiga pelatihan utama yakni inventarisasi emisi gas rumah kaca, penentuan baseline emisi dan penyusunan Rencana Aksi Mitigasi Daerah. Adapun pelatihan adaptasi terdiri dari basis ilmiah perubahan iklim, kerentanan dan risiko iklim serta penyusunan Rencana Aksi Adaptasi Daerah.

Mengawal aksi iklim hingga ke tingkat kota

Pelatihan Penyusunan RAI, menurut Koordinator Proyek CRIC Putra Dwitama dalam kegiatan Kick-Off, 30 Juni lalu, mendesak dilakukan karena RAI menguraikan prinsip dasar untuk merespon darurat iklim serta menjadi panduan untuk mengidentifikasi strategi dan instrumen aksi iklim di kota.

Aksi di tingkat kota ini perlu diselaraskan dengan target dan prioritas di tingkat nasional. Indonesia telah menyusun peta jalan Nationally Detemined Contributions (NDCs) untuk merespon Persetujuan Paris, sebagai bentuk komitmen untuk menguraikan strategi penurunan emisi karbon. Pemerintah kemudian menindaklanjuti komitmen ini dengan menetapkan Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 dan menerbitkan Pedoman Penyusunan Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca (RAD-GRK). RAN-GRK telah menguraikan target penurunan emisi di lima sektor prioritas, yakni kehutanan dan lahan gambut; pertanian; energi dan transportasi; industri; dan pengelolaan limbah.[1]

Sementara itu terkait adaptasi, pemerintah nasional dan daerah dapat mengacu kepada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 33 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyusunan Aksi Adaptasi Perubahan Iklim. Peraturan ini menjadi pedoman bagi penyusunan rencana aksi adaptasi perubahan iklim dan pengintegrasiannya ke dalam rencana pembangunan suatu wilayah dan/atau sektor spesifik. Sektor spesifik yang dimaksud dalam Peraturan ini adalah ketahanan pangan, kemandirian energi, kesehatan, permukiman, infrastruktur serta pesisir dan pulau-pulau kecil.

CCROM-Institut Pertanian Bogor akan menjadi mitra CRIC dalam mengembangkan pelatihan Penyusunan RAI. Direktur CCROM IPB Profesor Rizaldi Boer mengatakan bahwa melalui pelatihan ini, kota-kota akan didampingi untuk dua hal utama. Yang pertama adalah menyusun kajian baseline emisi gas rumah kaca dan kajian risiko dan kerentanan iklim. Kedua kajian ini akan menjadi dasar penyusunan kebijakan mitigasi/adaptasi di kota. Yang kedua, kota didampingi dalam menyusun rencana aksi mitigasi dan adaptasi melalui proses penandaan (tagging). “Melalui tagging, kita menemukenali program yang telah ada di tingkat kota untuk mengetahui strategi untuk meningkatkan program yang ada agar target penurunan emisi sesuai harapan, atau mencari strategi pengembangan pembiayaannya,” ujarnya.

Memastikan integrasi aksi dalam pembangunan

Guna memastikan keberlanjutan dan pengintegrasian aksi iklim kota dalam pembangunan daerah, maka pelatihan mitigasi akan menggunakan instrumen SIGN SMART (sistem aplikasi perhitungan dan pelaporan inventarisasi gas rumah kaca daring) dan pelatihan adaptasi akan menggunakan Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan (SIDIK) yang dikembangkan oleh KLHK dan siap digunakan.

“Kedua instrumen ini sudah tersedia dan dapat digunakan oleh pemerintah daerah secara mandiri,” ujar Kepala Sub-Direktorat Identifikasi dan Analisis Kerentanan Direktorat Adaptasi Perubahan Iklim KLHK Ir. Arif Wibowo, M.Sc. Terkait SIDIK, ia melanjutkan, bahwa kota dapat menambahkan indikator spesifik yang relevan dengan kota asalkan sejalan dengan prioritas nasional, seperti misalnya terkait pangan, air, energi dan kesehatan yang menjadi empat bidang dasar dalam NDC Adaptasi.

Pelatihan Penyusunan RAI akan diselenggarakan secara daring dan juga hybrid mengikuti perkembangan regulasi penanganan COVID-19 di tingkat nasional dan lokal. Pasca-pelatihan di tahun 2022, kota-kota akan didampingi menyusun proposal rencana aksi iklim yang layak mendapatkan pembiayaan.

Simak ulang kegiatan Kick-Off Pelatihan Penyusunan Rencana Aksi Iklim di Sepuluh Kota Percontohan CRIC di: https://youtu.be/n8eawoa2FMw

 

[1] Pedoman Penyusunan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2011.

CRIC
Kerjasama unik antara kota, pejabat, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi menuju kota yang tangguh dan inklusif.

Didanai oleh UE

CRIC
Proyek ini didanai oleh Uni Eropa

Kontak

Hizbullah Arief
hizbullah.arief@uclg-aspac.org

Pascaline Gaborit 
pascaline@pilot4dev.com