Kota Berketahanan Iklim
yang Inklusif

Select your language

Global Assessment Report on Disaster Risk Reduction 2022, berjudul "Our World at Risk: Transforming Governance for a Resilient Future" yang diterbitkan oleh Kantor PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNDRR) menjelaskan bagaimana bias manusia dan proses keputusan mempengaruhi efektivitas pengurangan risiko bencana.

Laporan tersebut menyebutkan, dalam kebanyakan situasi sehari-hari, orang mengandalkan jalan pintas cepat (heuristik) untuk mengambil keputusan yang sebagian besar akurat, dibanding penilaian yang mendalam terkait biaya dan manfaat relatif dari setiap keputusan.

Penelitian soal pengambilan keputusan menyimpulkan, hal ini terjadi karena berbagai alasan yang berkaitan dengan arsitektur dasar pikiran manusia dan sejumlah besar informasi yang diproses setiap menitnya.

Kebiasaan dalam pikiran menjadi bias saat berinteraksi dengan motif sosial manusia serta dunia di sekitar mereka yang menentukan keputusan yang mereka buat.

Kebiasaan tersebut juga mempengaruhi keputusan yang dibuat secara individu dan kolektif tentang bagaimana mengatasi bencana.

Bagian ini menawarkan pengetahuan mengapa pikiran manusia membentuk kebiasaan yang resisten terhadap perubahan, bagaimana bias kognitif ini dapat mengakibatkan pengambilan keputusan menjadi kurang optimal seputar bencana dan bagaimana hal tersebut bisa kita manfaatkan untuk mempercepat pengurangan risiko secara lebih efektif.

Pengambilan keputusan berbasis heuristik adalah salah satu dari dua cara berpikir ini. Pendekatan yang dikenal dengan nama "pemikiran intuitif" tersebut adalah upaya yang cepat dan memerlukan perhatian mental yang relatif rendah, yang juga disebut dengan istilah "berpikir cepat" (Kahneman,2013).

Manusia cenderung menggunakan pendekatan ini untuk membuat keputusan dalam situasi yang membutuhkan perhatian yang relatif sedikit atau situasi yang kompleks dan berkembang pesat. Ketika disajikan dengan kebutuhan untuk membuat keputusan yang cepat, terutama dalam kondisi di mana ada banyak masalah yang bersaing untuk mendapatkan perhatian mereka, keputusan berbasis heuristik memungkinkan orang untuk membuat keputusan dan melanjutkan aktivitas mereka dengan relatif cepat.

Ini penting bagi pengurangan risiko bencana (PRB) karena saat bencana terjadi secara tiba-tiba, menurut laporan ini, ada kebutuhan untuk membuat keputusan cepat dalam kondisi informasi yang tidak lengkap dengan banyak masalah yang bersaing untuk mendapatkan perhatian. Dalam kondisi ini, “pemikiran intuitif” adalah pendekatan yang biasa dipakai/khas untuk pengambilan keputusan.

Para ahli juga menggunakan “jalan pintas mental” ini, seperti yang ditunjukkan dalam studi pengambilan keputusan dalam tanggap bencana kemanusiaan, yang menunjukkan keputusan intuitif berbasis heuristik adalah pendekatan utama yang dipakai dalam tanggap bencana (Comes, 2016).

Sebaliknya, pengambilan keputusan untuk mencegah berkembangnya risiko baru, untuk mengurangi risiko di luar konteks krisis langsung, dan untuk memahami dan mengatasi risiko sistemik, memerlukan pola pemikiran deliberatif, atau "berpikir lambat".

“Pemikiran heuristik” juga dapat disetel untuk mengoptimalkan persepsi biaya dan manfaat dalam lingkungan lokal seseorang.

Mereka (yang bisa) memberikan jawaban cepat untuk masalah umum dan masalah yang telah berkembang biasanya justru karena mereka (memiliki pengalaman dalam) membuat keputusan secara tepat di sebagian besar situasi.

Pemikiran heuristik ”membaca” isyarat lingkungan yang spesifik dan langsung. Mereka memusatkan perhatian dan keputusan pada krisis yang akan segera terjadi. Sementara untuk risiko yang bergerak lebih lambat, seperti bencana atau krisis yang berdampak rendah, dengan proses dan dampak sistemik yang seringkali berlangsung lama, dapat dengan mudah diabaikan oleh “pemikiran intuitif” (Broomell, 2020).

Walau secara keseluruhan, setiap orang bisa berhasil jika beraksi berdasarkan proses pengambilan keputusan yang mendalam, rata-rata, manusia lebih sering menggunakan pola "berpikir cepat" dalam pengambilan keputusan.

Namun, pemikiran heuristik ini tetap memiliki bias yang bisa diidentifikasi, sehingga metode itu tidak selalu menghasilkan keputusan yang baik, terutama saat menghadapi situasi yang kompleks atau intens. Bias, atau heuristik, yang bisa muncul dan yang sangat relevan dalam pengambilan keputusan bencana meliputi:

  • Miopia dan penyederhanaan, atau kecenderungan untuk menyederhanakan masalah yang kompleks dan membuat keputusan berdasarkan informasi yang terbatas dan relevan secara pribadi.
  • Kecenderungan untuk terlalu menekankan informasi yang lebih mudah diingat atau dibuat menonjol oleh kondisi tertentu.
  • Penahan (anchoring), atau menggunakan angka yang tidak relevan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan dalam kondisi ketidakpastian yang tinggi.
  • Optimisme dan terlalu percaya diri, atau kecenderungan umum bagi orang untuk menilai satu kondisi sebagai sesuatu yang kurang mengancam atau melihat diri mereka sebagai pihak yang lebih mampu dibanding yang lain.
  • Bias status quo dan menghindari kerugian, atau kecenderungan untuk menerima keadaan yang ada (walaupun negatif) dan lebih peduli terhadap risiko kerugian daripada potensi keuntungan.

Pemikiran deliberatif

Tidak semua keputusan mengandung bias atau heuristik. Proses pengambilan keputusan kedua yaitu "pemikiran deliberatif", dengan sadar mempertimbangkan berbagai manfaat dan risiko dari berbagai pilihan yang mungkin.

Pengambilan keputusan rasional semacam itu prosesnya sangat kuat dan menjadi inti dari kesuksesan evolusi manusia – namun proses pengambilan keputusan seperti itu memerlukan waktu dan perhatian, dan tidak selalu dilakukan.

Beberapa teori menyarankan pemikiran deliberatif ini dilakukan jika dan hanya jika respons otomatis perlu diperiksa ulang atau diperbaiki. Orang lebih cenderung menggunakan model musyawarah ketika menyadari bahwa keputusan itu sangat penting, ketika mereka punya waktu untuk membuat keputusan dan ketika mereka merasa memiliki informasi yang cukup untuk membuat keputusan yang baik.

Dalam praktiknya, hal ini berarti orang lebih cenderung menanggapi masalah dengan serius dan merasa perlu terlibat dalam pengurangan risiko bencana (PRB) saat masalah tersebut signifikan, menjadi penting atau aktif oleh lingkungan, ketika masalah tersebut merugikan dan mempengaruhi secara langsung dan secara pribadi.

Contohnya keputusan pengurangan risiko aktivitas vulkanik. Letusan gunung berapi dengan mudah memenuhi kriteria di atas: dicirikan oleh indikator bahaya yang terlihat atau situasi yang berkembang pesat yang menarik perhatian, suara keras, atau elemen lain yang menonjol, ada keengganan kehilangan, dan heuristik lainnya untuk mendorong orang memperhatikan – dan bereaksi – terhadap risiko bencana yang akan segera terjadi.

Sebaliknya, jenis aktivitas vulkanik lain memiliki lebih sedikit elemen ini namun sama-sama berbahaya. Penilaian dinamika sosial risiko vulkanik menemukan, komunikasi yang berhasil dicirikan dengan transmisi informasi risiko tertentu secara konsisten, terutama dalam bahasa lokal yang relevan dilakukan oleh perwakilan masyarakat lokal yang tepercaya (Barclay et al., 2008).

Ketika risiko berkembang lebih lambat dalam jangka panjang, atau kurang jelas atau terpolarisasi secara politik – seperti saat bencana vulkanik di Guadeloupe, Montserrat dan Tenerife – populasi yang berisiko jauh lebih kecil kemungkinannya untuk terlibat secara efektif dalam pengurangan risiko bencana (PRB).

Oleh karena itu, tantangan bagi pemerintah adalah bagaimana mempromosikan keputusan yang baik dan bagaimana menciptakan sistem untuk mengenali bias kognitif yang bisa berisiko untuk memberi insentif pada keputusan yang baik tersebut.

Kesadaran saja tidak cukup

Penelitian tentang pengambilan keputusan menemukan, kesadaran akan risiko bencana saja tidak cukup untuk mendorong perubahan perilaku. Faktanya, orang seringkali gagal mengurangi risiko bahkan ketika mereka tahu bahwa risiko bencana tersebut nyata.

Pengambilan keputusan terkait risiko bencana adalah sebuah proses (Ajzen, 2020). Bias dan penalaran bisa memengaruhi keputusan dan pelaksanaannya – mulai dari kesadaran akan risiko bencana, hingga opsi pemahaman, hingga keyakinan bahwa opsi tersebut dapat dieksekusi, hingga pemilihan tindakan dan pelaksanaan dari tindakan itu.

Salah satu tantangan dalam mempromosikan pengurangan risiko bencana yang efektif adalah ketersediaan informasi yang akurat terkait risiko bencana. Prakiraan mungkin akurat tetapi tidak pasti, sehingga sistem tata kelola dan pengambil keputusan harus memiliki toleransi tertentu terhadap ketidakpastian dalam pengambilan keputusan, untuk mengelola risiko sistemik.

Namun, orang lebih cenderung terlibat dalam pengurangan risiko bencana ketika mereka menyadari keberadaan risiko tersebut, merasa yakin bahwa mereka memiliki pengetahuan terkait apa yang harus dilakukan untuk mengurangi risiko dan ada keterlibatan agensi/lembaga untuk mengatasinya.

--##--

CRIC
Kerjasama unik antara kota, pejabat, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi menuju kota yang tangguh dan inklusif.

Didanai oleh UE

CRIC
Proyek ini didanai oleh Uni Eropa

Kontak

Hizbullah Arief
hizbullah.arief@uclg-aspac.org

Pascaline Gaborit 
pascaline@pilot4dev.com