Kota Berketahanan Iklim
yang Inklusif

Select your language

Sepuluh kota percontohan di Indonesia mengikuti diskusi jarak jauh secara daring, dari 2 hingga 11 Juni, yang dipandu oleh Putra Dwitama, Koordinator Proyek Kota-Kota Tangguh Iklim dan Inklusif (Climate Resilient and Inclusive Cities – selanjutnya disebut CRIC). Diskusi bertujuan mengidentifikasi tantangan dan prioritas pembangunan di tiap kota. Hasil diskusi menunjukkan Proyek CRIC dapat berkontribusi terhadap kota dengan membantu mereka meningkatkan ketahanan dan mengatasi kesenjangan sosial.

 

E FGD June

 

Kota yang berpartisipasi dalam diskusi adalah Pangkal Pinang, Pekanbaru, Bandar Lampung, Cirebon, Samarinda, Banjarmasin, Mataram, Kupang, Gorontalo dan Ternate. Ahli analisis perkotaan dan perwakilan dari APEKSI juga hadir dalam sesi diskusi. Agenda diskusi adalah mendapatkan informasi tentang karakteristik perkotaan, program terkait perubahan iklim yang ada atau direncanakan dan ketersediaan data.

Dari diskusi, ditemukan bahwa semua kota percontohan rentan terhadap bencana yang dipicu oleh perubahan iklim, seperti banjir, tanah longsor, polusi udara, kekeringan dan kenaikan permukaan air laut. Dampak perubahan iklim akan semakin menambah kerentanan kota, terutama kota-kota pesisir seperti Ternate dan Kupang. Ternate rentan terhadap bahaya rob akibat kenaikan permukaan air laut dan bencana ini berdampak besar bagi kota yang perekonomian dan infrastrukturnya saja masih lemah.

Kota-kota juga bergulat menyediakan akses terhadap air bersih dan sanitasi untuk warganya, seperti yang dialami oleh delapan dari sepuluh kota. Permasalahan serupa lain yang dihadapi semua kota adalah pengelolaan sampah dan polusi udara. Di Cirebon, pengelolaan sampah akan kian penting mengingat tempat pembuangan akhir (TPA) yang saat ini ada, akan penuh dalam waktu tiga tahun. Sementara itu, Pekanbaru bergulat dengan polusi udara setiap tahun, terutama di musim kemarau, karena terpapar asap kebakaran hutan dari kabupaten tetangga.

Pemerintah kota mengkhawatirkan kesiapsiagaan dan ketahanan mereka dalam menghadapi krisis yang dipicu perubahan iklim. Namun, hanya empat kota (Samarinda, Banjarmasin, Mataram dan Bandar Lampung) yang dalam diskusi secara jelas menyampaikan urgensi memiliki rencana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dalam rencana pembangunan perkotaan.

Di Mataram, di mana proses RPJMD tengah berjalan, pemerintah kota telah mengangkat isu pentingnya membangun ketahanan masyarakat untuk menghadapi perubahan iklim. Bandar Lampung juga menyebutkan pentingnya rencana adapatasi yang berpusat pada upaya pemberdayaan masyarakat. Samarindapun menyoroti isu perubahan iklim dan ketahanan dalam rencana pembangunannya. Dari sepuluh kota, hanya Banjarmasin yang menyoroti inklusivitas, selain juga memasukkan rencana mitigasi dan adaptasi dalam perencanaan. Banjarmasin berupaya untuk mengatasi kesenjangan akses pelayanan publik bagi difabel.

Hasil diskusi ini akan digunakan bagi ahli perkotaan untuk menyusun laporan analisis yang memberikan gambaran tentang ketahanan kota, inklusivitas, serta potensi dampak dan risiko bencana iklim terhadap pembangunan perkotaan.

CRIC
Kerjasama unik antara kota, pejabat, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi menuju kota yang tangguh dan inklusif.

Didanai oleh UE

CRIC
Proyek ini didanai oleh Uni Eropa

Kontak

Hizbullah Arief
hizbullah.arief@uclg-aspac.org

Pascaline Gaborit 
pascaline@pilot4dev.com