Kota Berketahanan Iklim
yang Inklusif

Select your language

Telah muncul konsensus tentang perubahan iklim sebagai ancaman besar abad ini. Bencana yang dipicu oleh perubahan iklim diperkirakan akan semakin sering terjadi dalam dekade mendatang, seperti siklon tropis, banjir, kenaikan muka air laut dan kekeringan. Kejadian ini akan berdampak pada ekosistem dan sumber daya air, yang tentunya akan membahayakan manusia. Untuk mengatasi perubahan iklim, 174 negara dan Uni Eropa telah menandatangani Persetujuan Paris yang mendemonstrasikan komitmen untuk menekan kenaikan temperatur global sebesar 1,5 hingga 2 derajat Celcius. Lima tahun sesudah Persetujuan Paris, ikhtiar mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (termasuk di dalamnya kajian ilmiah) masih sangat dibutuhkan.

Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) mendefinisikan adaptasi (IPCC, 1996) sebagai “respon terhadap dampak berat maupun moderat perubahan iklim. Respon ini mengacu kepada penyesuaian, baik pasif dan reaktif untuk mengantisipasi konsekuensi nyata dari perubahan iklim. Perubahan iklim secara implisit diakui akan terjadi di masa depan dan perlu diakomodasi dalam kebijakan” (IPCC, 1996, h. 831). Kepulauan dan kawasan pesisir termasuk area yang akan semakin rentan terhadap perubahan iklim. Berbagai kajian pustaka telah mendemonstrasikan peran pemerintah kota dan daerah dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Kota dinilai sebagai tingkatan pemerintahan yang tepat yang memahami dinamika sosial dan ekonomi di kawasan, serta yang mampu mengambil keputusan tepat dan jitu untuk melindungi ekosistem lokal.

Sebagai negara kepulauan dengan 17.504 pulau, Indonesia rentan terhadap kenaikan muka air laut yang dipicu oleh perubahan iklim. Penurunan permukaan tanah, infiltrasi air laut dan kelangkaan air turut berkontribusi pada kerentanan ini, yang kemudian diperparah dengan tingkat pertumbuhan populasi yang tinggi dan urbanisasi. Situasi ini berpotensi memicu konflik antar-otoritas yang bertanggung jawab dan antar-kelompok, di mana kelompok miskin dan minoritas akan semakin terpapar (dan tidak terinformasi) dampak bahaya perubahan iklim.

Proyek CRIC (Climate Resilient and Inclusive Cities/Kota Berketahanan Iklim yang Inklusif) yang didanai oleh Uni Eropa berlangsung dari tahun 2020 hingga 2024, dengan melibatkan kota-kota di Indonesia, Asia Tenggara, India dan Eropa. Pada sesi FGD yang diselenggarakan CRIC, dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya adaptasi perubahan iklim perlu didukung investasi dari kota, pengembangan solusi berbasis teknologi informasi (misalnya Sistem Peringatan Dini), solusi berbasis alam serta keterlibatan dan kesiapsiagaan masyarakat.

 

Mitra dan perangkat

 

Dalam implementasinya, Proyek CRIC dikoordinasikan oleh UCLG ASPAC, bekerja sama dengan para mitra seperti Pilot4Dev, ACR+, Ecolise, Universitas Gustave Eiffel (UGE) dan AIILSG. Melalui CRIC, para mitra akan mengembangkan perangkat secara kolaboratif untuk membantu kota terkait isu air dan sanitasi, pengelolaan sampah dan sistem peringatan dini. Untuk mencapai hal ini, CRIC akan mengembangkan program kolaboratif, mempromosikan keahlian yang dimiliki oleh para mitra serta mendorong pertukaran pengetahuan secara berkala yang melibatkan kota-kota percontohan.

 

Referensi:

  • CRIC (2020), Policy Brief untuk Kota Percontohan
  • IPCC (1996), The Science of Climate Change

 

CRIC
Kerjasama unik antara kota, pejabat, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi menuju kota yang tangguh dan inklusif.

Didanai oleh UE

CRIC
Proyek ini didanai oleh Uni Eropa

Kontak

Hizbullah Arief
hizbullah.arief@uclg-aspac.org

Pascaline Gaborit 
pascaline@pilot4dev.com