Kota Berketahanan Iklim
yang Inklusif

Select your language

Indonesia tengah berpacu dengan waktu. Dalam waktu 10 tahun, di tahun 2030, kita perlu menggenapi komitmen NDC untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% melalui kemitraan internasional. Indonesia juga berikrar untuk mencapai 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Peta jalan menuju ke sana telah disusun, namun tantangan juga menghadang. Melalui Climate Resilient and Inclusive Cities (CRIC), UCLG ASPAC bergerak bersama pemerintah kota meretas jalan keberlanjutan mulai dari kota. 

 hour glass

Tanpa penanganan perubahan iklim yang bermula dari kota, upaya untuk mencegah peningkatan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius pada tahun 2030 akan sia-sia, demikian teguran Panel Antarpemerintah Untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) yang dituangkan dalam laporan mereka di tahun 2018. Kota perlu segera mengakselerasi aksi mitigasi dan adaptasi yang terukur dan berlandaskan bukti-bukti ilmiah. Lalu, sudah sejauh manakah kesiapan kota-kota di Indonesia?  

Komitmen Indonesia terhadap pembangunan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan secara jelas telah diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan seperti Kebijakan Perkotaan Nasional (KSN) 2045, Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian TPB dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Di samping itu, tersedia pula dukungan kebijakan sektoral terkait pengelolaan lingkungan, perubahan iklim dan pembangunan infrastruktur perkotaan yang berketahanan iklim yang diterbitkan oleh kementerian teknis seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

 

Simpul masalah perkotaan

Kendati berkomitmen kuat, Indonesia masih berjibaku dengan berbagai tantangan perkotaan. Akses terhadap layanan dasar belum dinikmati secara merata oleh warga, mengindikasikan belum inklusifnya pembangunan perkotaan, di samping berbagai tantangan terkait ketahanan kota (Bappenas, 2019). Ketahanan kota diuji di hadapan perubahan iklim, dan kita perlu khawatir mengingat masih belum memadainya sistem dan daya dukung perkotaan untuk menghadapi tekanan dan goncangan.

Kota-kota di Indonesia belum menyediakan Ruang Terbuka Hijau sedikitnya 30% dari luas wilayahnya, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 pasal 29. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup di perkotaan juga menurun dari 65,73 di tahun 2016 menjadi 66,46 di tahun 2017 (KLHK, 2017). Kotapun masih menjadi sumber emisi karbon hingga mencapai 1.514 juta ton CO2 (BPS, 2018) sementara bauran energi primer yang bersumber dari energi baru terbarukan (EBT) hanya mencapai 5% di tahun 2015 (RUEN ESDM, 2015). Kota di Indonesia juga belum mampu menunjang dirinya sendiri mengingat 80% dari sumber daya, bahan baku dan energi yang digunakan di kota berasal dari wilayah lain; di samping model ekonomi linear yang membawa dampak negatif terhadap lingkungan (World Bank, 2010). Dengan berbagai tantangan yang menggerogoti, tak pelak wilayah perkotaan rentan terhadap bencana dan dampak perubahan iklim, terutama kota-kota di wilayah pesisir dan yang memiliki kepadatan penduduk tinggi.

Perkara kepadatan penduduk akan kian menambah beban kota. Bappenas (2015) memproyeksikan bahwa pada tahun 2035, 66% penduduk akan tinggal di kota, akibat tingginya urbanisasi dan ketimpangan pembangunan antara desa dan kota. Pertambahan jumlah penduduk kota akan memunculkan permasalahan seperti persampahan, tata kelola air dan sanitasi, pemenuhan kebutuhan pemukiman, akses kesehatan dan pendidikan dan aspek pelayanan dasar lain.

 

Menggerus batas sektoral dan administratif

Untuk mengatasi kompleksitas permasalahan perkotaan yang ada dan yang akan menjelang, dibutuhkan penanganan yang strategis dan terorkestrasi, baik dari sisi perbaikan kebijakan hingga perubahan perilaku, dari tingkat tapak hingga nasional. Apakah mudah? Tentu tidak. Implementasi kebijakan pembangunan perkotaan terutama terkait lingkungan hidup dan perubahan iklim masih tersandung masalah koordinasi antarlembaga. Namun, terbuka ruang untuk menguatkan tata kelola perubahan iklim, baik secara vertikal maupun horizontal.

Salah satu langkah yang dapat diambil adalah mendorong lahirnya komitmen bersama dan kerja sama antardaerah untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Sebagai contoh, daerah hulu dan hilir yang berada dalam satu lanskap Daerah Aliran Sungai dapat berbagi biaya (cost-sharing) serta menguatkan koordinasi dan kolaborasi untuk mengatasi masalah banjir. Untuk itu, dibutuhkan komitmen bersama untuk memastikan peruntukkan ruang dalam pembangunan tetap memperhatikan aspek adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana. Komitmen ini tentu perlu diwujudkan menjadi aksi guna mengurangi potensi kerugian ekonomi maupun non-ekonomi yang dialami kota.

Upaya untuk merajut komitmen dan merekatkan koordinasi antardaerah ini yang telah dilakukan oleh UCLG ASPAC selama 16 tahun terakhir. Sebagai asosiasi pemerintah daerah, UCLG ASPAC menguatkan kapasitas pemerintah kota dan daerah melalui berbagai inisiatif. Dan kini melalui Proyek CRIC, inisiatif untuk menjembatani pemerintah nasional dengan sub-nasional serta pemerintah antarkota menjadi kian konkret. Di tingkat kota, CRIC membantu 10 kota percontohannya untuk mengintegrasikan isu ketahanan iklim dan inklusivitas dalam KLHS-RPJMD, sebagaimana telah dilakukan di Samarinda dan Mataram. CRIC juga membantu kota untuk mengembangkan Rencana Aksi Perubahan Iklim yang akan didahului oleh serangkaian pelatihan terkait mitigasi, adaptasi dan co-benefit.

Untuk mendorong koordinasi lintas-sektor di kota, CRIC mengawal pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) perubahan iklim yang terdiri dari unsur pemerintah dan non-pemerintah. Tim Pokja menjadi simpul koordinasi antarpihak sekaligus agen perubahan untuk mendorong kebijakan dan program terkait perubahan iklim di kota. Paralel dengan ini, CRIC membangun kemitraan dengan kementerian teknis dan asosiasi untuk menciptakan ruang-ruang berbagi pengetahuan di mana pemerintah nasional dan daerah berkoordinasi terkait integrasi vertikal dan implementasi aksi iklim. Dalam masa satu tahun pelaksanaannya, CRIC juga telah menjangkau lebih dari 40 kota di Indonesia dan kota-kota di Asia Tenggara, Asia Selatan dan Eropa. Dimulai dari sepuluh kota percontohan, CRIC berkomitmen dalam pencapaian target NDC melalui penguatan kapasitas kota secara praktis dan implementatif.

CRIC
Kerjasama unik antara kota, pejabat, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi menuju kota yang tangguh dan inklusif.

Didanai oleh UE

CRIC
Proyek ini didanai oleh Uni Eropa

Kontak

Hizbullah Arief
hizbullah.arief@uclg-aspac.org

Pascaline Gaborit 
pascaline@pilot4dev.com